Maaf Membuatmu Kecewa
"Tetaplah tersenyum walau masalah
datang silih berganti, Everything is gonna be Okay"
Semuanya berawal dari sebuah kemenangan dimana
ketika itu siswa-siswi kelasku bersorak riang gembira karena sebuah prestasi
yang tak pernah disangka akan hadir saat itu. Pagi ini kami semua berkumpul
seperti biasanya dilapangan untuk mengikuti kegiatan jum’at pagi. Setelah
kegiatan selesai seorang guru mengumumkan pemenang lomba gerak jalan tingkat
kabupaten Bintan yang berlangsung kemarin, suasana tiba-tiba mendadak menjadi
tenang, sebelumnya mereka tidak begitu optimis akan menjadi juara dalam lomba
tersebut. Namun tak terduga, nama kami keluar sebagai pemenang Juara 2 dan
Juara 1 didua kategori yang berbeda. Semuanya pasti bangga dan tak percaya, hal
yang telah membuat tubuh kami terasa remuk setelah lomba, akhirnya menjadi
mendali berharga untuk kita bersama.Sebelum lebih jauh lagi, wali kelasku Ma’am
Ernita terus memberi selamat sembari berkata “Tetaplah menapak pada apa yang
ada dibawah-mu”. Kata-kata itu mengajari kami untuk tetap rendah diri terhadap
apa yang kami raih.
Dibalik
sebuah kemenangan kami ternyata menyimpan banyak kegelisahan, Tuhan menguji kami dengan hal
yang tak terduga, padahal kami belum menemukan titik terang masalah pada sistem
konsumsi sebelum perlombaan gerak jalan berlangsung. Itu adalah kesalahan
pertama kami yang hadir begitu pahit yang perlahan menggrogoti harga diri kami.
Argumen dimana-mana, amarah yang selalu membara, air mata, serta emosi yang
berkuasa saat itu menyelimuti kelasku selama beberapa hari. Raut wajah mereka
seakan berubah, senyumnya terlihat seperti beban yang berat. Kali ini mereka
kecewa dengan apa yang terjadi dengan kami, salah memasang strategi saat perang
memang fatal hukumnya, begitulah hal yang sama terjadi pada kesalahan informasi
dan tragedi yang menimpa pada 2 dus air mineral, 30 butir telur, dan beberapa
bungkus permen. Kini mereka para guru kecewa dengan setitik tinta yang tumpah
pada kanvas yang dulunya bersih dan putih.
Hari
ini terasa badai telah berlalu tepat dimana perayaan sumpah pemuda disekolahku
digelar dengan menguji kreatifitas para siswa melalui semangat sumpah pemuda. Awalnya
aku melihat tawa dan canda dalam perlombaan sumpah pemuda itu, perwakilan kelas
yang tampil begitu menghipnotis dan memukau para penonton, aku berfikir pada
perlombaan ini kami tidak perlu keluar sebagi pemenang, hal yang penting cukup
membuat setiap orang didalamnya merasa senang, menunjukan penampilan terbaik
dengan konsep sederhana tanpa membuat kecewa.
Ketika hari berlalu 86400 detik
sejalan dengan detak jarum jam yg berputar, lagi dan lagi, masalah selalu
datang bagaikan air laut dengan pasang surutnya, kali ini Tuhan benar-benar
memberi ujian yang berat bagi kami, kali ini pembina osis yang turun tangan, Bu
Ica benar-benar mulai merasa muak dengan segala yang terjadi atas nama
kelas-ku. Semua bisu, semua gagu, duduk terdiam menunduk gemetaran saat saat Bu
Ica menuangkan amarahnya diruangan yang panas hari itu. Sulit dijelaskan betapa
bodohnya siswa yang mementingkan keegoisan semata, walaupun padahal maksud dan
tujuan yang dianggapnya benar belum tentu sama dengan pandangan guru yang turun
tangan saat itu, suara bantingan meja seolah semakin menambah suasana menjadi
semakin tegang masih dengan bisu dan air mata.
Dilobang yang sama dengan sebab yang
berbeda kami benar-benar jatuh, padahal baru beberapa hari lalu mencoba bangkit
dan berhasil naik dua anak tangga dan kini terjebak dengan konsekuensi yang
berat. Kami benar-benar kehilangan nama baik hingga harga diri kami benar-benar setara bagaikan air
mineral,permen,dan beberpa butir telur. Masaloh ini berakar pada anggaran pemenang
gerak jalan tempo lalu yang diungkit oleh siswa-siswi bermuka dua. Kini rasa
pahit diantara gumpalan madu mulai terasa, Bu Ica meninggalkan ruang kelas
setelah amarahnya menguasai seluruh sudut ruang kelas walau ia selalu memberi
sedikit solusi di ujungnya.
Langkah kaki ini benar-benar berat
untuk keluar meninggalkan kelas, rasa malu benar-benar terlihat disetiap raut
wajah anggota kelasku, siswa siswi lain kini benar-benar memandang kelas-ku
sebagai kelas pembuat masalah, disaat yang bersamaan ketua kelas berdiri dan
berkata “Tetap lah tersenyum walau bisa
dan racun bercampur bagaikan ludah yang yang terlempar kearah-mu” kata-kata
itu mulai membuat kami berusaha untuk tetap tersenyum dibalik apa yang terjadi
kepada kami.
Hari berganti ditemani setiap detik
waktu berlalu, setelah pahit masalah yang terjadi pada kami, do’a selalu
menyertai disetiap nafas yang berhembus dan berharap masalah tidak berkuasa dan
meraksasa, namun akhirnya berbada dengan apa yang diharapkan, beberapa menit
setelah itu wali kelas kami Ma’am Ernita masuk dan menguasai setiap sudut kelas. Suasana benar-benar mencekam diselimuti
rasa bingung antara kecewa,marah,atau mecoba memotivasi kami disana. Ma’am
Ernita memberi berapa pengarahan sembari sedikit mengejek bahwa kami seperti
anak yang tidak pernah diberi makan. Entah kenapa uang mulai bisa memberi harga
diri mereka waktu itu. Ambisi wali kelas saat itu benar-benar membara, tepat
diwaktu itu kami tidak diperbolehkan lagi mengikuti semua jenis perlombaan yang
akan diadakan dikemudian hari untuk menjaga nama baik bersama agar tidak
terlihat memalukan lagi, hal itu dilakukan kerena setiap menang selalu ada
masalah yang datang, jauh atas dasar
kata kebersamaan yang selalu salah strategi, entah itu kutukan atau balasan dari sang maha
kuasa.
Beberapa jam setelah Ma’am
meninggalkan kelas, kini giliran Pak Amat selaku waka kesiswaan yang turun
tangan, hari ini tuhan benar-benar mengetuk pintu hati orang-orang yang masih
memiliki hati yang kali ini berdampak pada black list dan diskualifikasi
permanen. Sedih jelas sedih 28 oktober kemarin adalah penampilan terbaik dan
terakhir yang bisa kami tampilkan. Haru jelas haru ketika kita berada di posisi
pertama namun tiba-tiba kita terlempar dari sirkuit begitu saja, air mata sudah
tak berguina berpadu haru sedih dan kecewa, andai masalah ini tidak terjadi
sesuai takdir dan skenario Tuhan, betapa bahagianya melihat sorak gembira
ketika pemenang lomba memperingati sumpah pemuda dibacakan. Ketika itu air
mataku benar-benar tak bisa terbendung lagi, lepas begitu saja ketika tahu kami
mendapat nilai tertinggi dan seharusnya menjadi juara 1 dalam lomba tersebut,
tapi sulit dibayangkan masalah ini benar-benar membuat kami tenggelam tanpa
nama, bagaimanapun kami harus terima hasilnya jika nasi sudah menjadi bubur.
Semangat selalu dituangkan wali kelas
yang berperan sebagai pengganti orang tua disekolah. Aku ingat ketika Ma’am
memotivasi kami dan menyuruh untuk melewati ini semua dengan tegar. “Everything is gonna be Okay, kita lewati ini
sama-sama, saya sebagai emak kalian akan berusaha demi kalian walau harus memohon bahkan menjual diri saya
didepan para guru, ingat lah ! peristiwa yang berlalu dengan bergelombang yang artinya ketika posisi kita kadang diatas
dan dibawah selalu akan mengalahkan
sesuatu yang berlalu dengan flat (datar). Percaya sama saya Everything is
gonna be Okay,sekarang kalian hanya perlu barsikap baik untuk memperbaiki nama
kita bersama” Kata-kata itulah yang
diungkapkan Ma’am Ernita yang membuat kami mencoba bangkit dari masalah yang
menimpa saat itu. Aku terharu ketika kata itu diucapnya, kenapa ia begitu
berusaha untuk memperbaiki semuanya padahal kami telah membuat
kecewa,kecewa,dan kecewa.
Sepahit-pahitnya masalah yang kita
hadapi pasti ada titik dimana rasa manis yang selalu menggugah hidupmu, kamu
hanya perlu usaha disertai do’a,tawakal,ikhtiar, dan ketika kita berada
diposisi tertinggi, cobalah untuk tetap menapakkan ketanah walaupun itu terasa
sulit. Keserakahan dan keegoisan selalu akan menghanguskan semuanya dalam
kedipan mata. Ketika pintu maaf setengah tertutup, ketika rasa segan semakin
jauh, dan ketika mata mulai menemukan titik jenuhnya, tapi sayang nya waktu tak
mungkin terulang kembali mengikuti ego yang ingin merasa bersih dari
sebelumnya.
Hari ini seharusnya hari yang paling
ditunggu setiap kelas karena pengumuman pemenang lomba, raut sedih mulai
terlihat setelah upacara bendera selesai diadakan, ketika satu persatu perwakilan
kelas maju untuk mengambil hadiah, kami hanya tertunduk menahan malu dan air
mata ketika terdengar sedikit ironi didepan sana. Seharusnya ada beberapa
perwakilan kelas-ku yang maju kesana untuk menerima hadiah, namun semuanya
berubah ketika masalah ini mengubah jalan cerita yang seharusnya bahagia. Takut
ketika mengingat waktu dimana Pak Amat masuk kelas dan memberikan anggaran uang
gerak jalan yang menjadi sumber permasalah kami lebih dulu dan memberi tahu
bahwa kemenangan yang kami raih tidak akan diumumkan ke publik. Salah satu
temanku menangis dan marah pada pembuat masalah yang membuat hal ini terjadi.
Siswa-siswi lain yang berada didekatnya mencoba menenangkan Winda yang
terhanyut suasana haru pada waktu itu.
Hari itu memang benar-benar tidak sesuai
dengan apa yang dibayangkan, lenyap begitu saja apa yang telah kita perjuangkan
waktu itu.Didalam kelas, aku kembali meneteskan air mata, namun beberapa
temanku mencoba memberi semangat dan berkata bahwa biarkan semuanya berlalu begitu saja. Aku
akhirnya bisa tertawa walau menutupi sedih yang mendalam ketika mendegar
temanku Nizar yang menjadi anggota dalam
tim perwakilan kelas dalam lomba sumpah pemuda lalu sempat berkata dengan
senyuman manisnya“Anggap saja kemarin
kita menjadi bintang tamu yang keren tanpa ingin imbalan apa-apa”.
Hari
demi hari berlalu hingga masalah itu mengalir dan membuat semangat belajar di
kelas kami kian menurun, suasana kelas mulai berubah jauh dari biasanya,
walaupun mereka telah meminta maaf pada pihak yang tersangkut dalam masalah
ini, tapi semuanya sulit dilupakan, seperti ingin berbuat sesuatu yang lebih
agar mereka tidak lagi kecewa, tapi apalah hal yang paling besar dari pada kata
maaf ?. Kami hanya bisa tersenyum melewati detik demi detik yang kami habiskan
di sekolah, tegar walaupun masalah datang silih berganti, berharap masih ada
sedikit ruang dimana kata maaf bisa memperbaiki rasa kecewa mereka dan
membangun pondasi baru tentang kepercayaan dan kebanggaan mereka telah bisa
menjadi guru yang membimbing kami walau titik tinta yang tumpah di kanvas tadi
telah menjadi sesuatu yang abstrak untuk sudut pandang mata. Andai angin
membawa pesan maaf yang ku bisikan pada rembulan, sekali lagi hanya maaf yang
bisa ditutukan walau kini kami tak lagi berharga tanpa segaris nama.
Komentar
Posting Komentar