Pantai Kesedihan


Ketika Air Mata Bercerita, Pantai Seakan Menjadi Saksinya
SUARA deru ombak melepas segala kekesalan yang ada. Nisa Amelia Zahrah adalah seorang gadis yang tegar menghadapi lalu lantang jalan cerita Tuhan yang besar diusianya yang masih terbilang muda. Nisa terkadang tak mampu menahan kekesalannya terhadap opera Tuhan yang pahit, namun di tempat ini Nisa dapat menuangkan semua perasaan dan emosi yang hanya didengar oleh sang ombak, angin, dan pasir.
Sore itu, terdengar tangisan Nisa yang kesal karena ayah dan ibunya selalu berkelahi. Perkelahian itu dipicu oleh ekonomi keluarga yang semakin menurun. Uang, uang dan uang. Hal itu lah yang didengarnya setiap kali ayah dan ibunya beradu argumen. Belum lagi kakaknya yang sering meminta uang bulanan untuk keperluan sekolah. Dan untuk gadis bungsu yang satu ini, orangtuanya tak pernah perduli dan hanya menganggap Nisa adalah beban bagi keluarga mereka.
“Tuhan, andai kau mendengar sedu ku, jika kau mengizinkan, tariklah kembali nyawaku, hanyutkanlah ragaku menari bersama ombak-ombak di sana, biarlah mereka tahu kini aku benar-benar tak berguna”
Suara gadis kecil berambut pendek yang seakan bercerita dengan alam itu menambah suasana pantai menjadi sunyi. Di pantai itu lah Nisa bermain seperti anak-anak seusianya, bukan tawa melainkan kata, kadang senyum walaupun hatinya hampa. Di dunia nyata dalam sudut pandang yang berbeda gadis seusia dia memang membutuhkan kasih sayang yang lebih, membutuhkan teman interaksi yang tak pamrih, bukan sebuah kesunyian tanpa lilin di kegelapan hari.
Nisa hanyalah seorang gadis kecil tak bedosa yang masih duduk di kelas 3 SD, hari-harinya di sekolah mungkin lebih menyenangkan dibandingkan waktu waktu kosongnya di rumah. Setelah jam sekolah usai, tak ada lagi cerita bahagia di mata Nisa, ia harus pulang berjalan kaki dari sekolah ke rumah dengan jarak yang lumayan jauh, renungkan betapa tegar kaki mungil gadis cantik ini, betapa banyak cucuran keringat yang diusapnya tanpa mengenal kata lelah, begitu besar semangat langkah kakinya yang tertutup sepasang sepatu bolong dengan warna yang telah pudar dan usang.
Hari berganti senja, langit mulai berubah menjadi jingga, burung-burung telah pulang dari peradua-nya, berbeda dengan orang tua Nisa yang belum pulang sejak pagi sampai menjelang malam, bekerja untuk mencari selembar kertas tak bernyawa yang berguna. Di rumah sederhana dengan penerangan seadanya, Nisa tinggal bersama ayah, ibu, dan kakak laki-lakinya. Hingga akhirnya ketika suara azan bergema, seorang perempuan paruh baya terdengar membuka pintu rumah.
“Nisa ! kenapa rumah berantakan, kenapa banyak buku-buku di sana-sini, kamu pikir belajar terus akan merubah rumah kita, gak ada orang lain yang bisa bersihin, selain kita sendiri, kamu kan bisa bantu kakakmu, ngerti kamu?”
“maaf bu, Nisa tak sempat membantu bang Ari membereskan rumah”
“lalu pa yang kamu lakukan seharian? makan, tidur, dan main? Begitu?”
Ibu Nisa pun mulai kesal hingga emosinya tak ter-kendali, tanganya pun menjadi ringan hingga jatuh di pipi Nisa. Tetesan air mata Nisa pun tak dapat dibendung, tanpa berpikir panjang Nisa berlari menjauh dari rumah yang mulai menjadi penjara baginya. Langkah kaki Nisa seakan menuntunnya ke pantai yang tak jauh dari rumahnya, berbekal sebuah lilin kecil sisa nelayan yang tak digunakan lagi. Nisa duduk termenung memandangi gelapnya hamparan laut di depannya, yang terhiasi gemerlapnya bintang-bintang di atas langit.
“Tuhan, andai Kau mendengar sedu ku, aku ingin menjadi bintang di sana, tanpa rasa sepi, tanpa rasa sakit, dan tanpa air mata. Kalau aku boleh mengubah takdir Mu, andai waktu bisa terulang, aku ingin terlahir dari seorang ibu yang sayang seutuhnya kepadaku, tanpa sebuah beban, juga tanpa kesakitan”
Begitu lah kata yang terucap dari getaran bibir gadis kecil ini, suasana begitu hening ditemani rintikan hujan dan dinginnya angin malam serta padamnya lilin kecil yang menjadi satu-satunya cahaya penerang. Perlahan-lahan mata gadis itu tertutup senada dengan gerimis hujan. Ia seolah terbuai oleh curhatan sang malam, keputusan untuk tidak pulang ke rumah membuat keluarganya kalang kabut mencari dirinya.
Di sisi lain sang kakak yang mencarinya dengan sebuah obor akhirnya menemukan Nisa sedang tertidur pulas di temani sang alam, di pinggiran pantai yang terselimuti dedaunan kelapa. Ari menggendong dan membawanya pulang ke rumah, memutuskan sebuah cerita antara Nisa dan pantai, serta berharap tak ada hal buruk yang terjadi pada Nisa.
Keesokan harinya saat fajar mulai membuka cerita, ketika embun masih terlukis di udara, Nisa bangun dan terkejut mengapa ia ada di dalam kamar? seperti biasa, pagi ini ia harus bergegas ke sekolah, bertemu dengan teman-teman yang akan membuatnya bahagia, menggores cerita tanpa gundah gulanah. Tanpa menemukan alasan kenapa pagi ini ia sudah berada di kamar. Kali ini Nisa berangkat sekolah bersama Ari menggunakan sepeda tua peninggalan sang kakek.
Karena takut dimarahi ibu dan ayahnya, Nisa pergi tanpa pamit dan meninggalkan segala cerita pilu di rumah itu.Siang hari ketika bel yang paling ditunggu semua siswa berbunyi, Nisa tanpa semangat harus pulang ke rumah, dia berharap jam pelajaran bertambah lebih lama dari biasanya. Tapi entah mengapa kaki gadis kecil itu serasa mengarah pada suatu peristiwa, ditemani cuaca mendung, Nisa berjalan seperti biasanya dari sekolah ke rumahnya. Dari kejauhan mata Nisa melihat banyak orang yang hadir di rumahnya, entah apa yang dilakukan orang-orang itu di sana.
Ketika Nisa berada lebih dekat dengan rumahnya, raganya mulai melemas, ia melihat bendera duka terikat jelas di sana, air mata secara perlahan mulai membasahi wajahnya, semua bagaikan mimpi, semua serasa berlalu begitu cepat. Tubuhnya yang tadinya tegar kini mulai mengeluarkan seluruh tangisan, menggema seluruh sudut rumah yang desertai lantunan surat yasin para pengelayat.
“Ayah, ibu , kenapa pergi begitu cepat, mengapa kalian tak dapat melihat cita-citaku kelak yang akan menjadi nyata suatu hari nanti, kalian meninggalkanku terlalu dini, aku tak sempat meminta maaf denganmu yah, bu, semua ini seperti mimpi, aku kini kesepian, siapa lagi nanti yang akan memarahiku, siapa lagi nanti yang akan memukulku, siapa lagi nanti yang akan menyeretku keluar karena kenakalanku, semua-nya akan hilang dalam kedipan mata, aku takut melewati tajamnya duri kehidupan di waktu yang akan datang, namun semuanya terlambat, semoga kalian bahagia di dimensi yang lebih baik di sana.
Kini gadis itu kehilangan segalanya, matanya sembab karena terlalu banyak mengeluarkan air mata di hari itu, ia sujud diantara jasad ayah dan ibunya, bersamaan dengan kedatangan Ari yang penuh emosi duka dalam dirinya.
“Ayaahhh, ibuuuu. Kenapaa, kenapa?” tak ada lagi kata-kata yang dapat diungkapkan Ari sambil mencium kening kedua orang tuanya
“Ini semua gara-gara kamu, kamu adalah sumber dari semua masalah ini, semenjak kamu lahir, keluarga ini semakin berantakan, semuanya kacau, kacau, dan kacau. Terlebih lagi hari ini, lebih dari sebuah kekacauan yang kau timbulkan dalam keluarga ini, lebih baik kau bunuh saja aku, biar aku tak memiliki beban lagi”; begitulah emosi sang kakak kepada Nisa.
“Sudahlah Ri, dia inikan adik kamu juga, jangan sampai kamu lebih membuat mereka tidak tenang di sana karena memikirkan Nisa, di sini dia yang lebih terpukul atas kepergian mereka, usianya masih dini. Jadi, aturlah emosimu lebih dewasa, jangan lakukan hal-hal bodoh Ri”
Pak RT yang ada di rumah itu seakan ikut mema-damkan Ari yang terbakar emosi.
Ketika dua jasad tadi telah dikuburkan, suasana benar-benar hampa, jika sebelumnya terdengar tangisan dan lantunan surat yasin, kini benar-benar sunyi tanpa suara. Di luar sana terlihat Nisa sedang berdiri di tengah guyuran hujan, air matanya seakan tak terlihat di balik tangisan sang awan. Nisa berlari menuju pantai tempat di mana biasanya dia menuangkan semua isi hatinya.
“Tuhan, andai kau mendengar sedu ku, mengapa kau mengambil mereka begitu cepat, mengapa kau memutar opera kehidupan begitu singkat, kini aku tak memiliki harta apa-apa lagi, kau ambil kedua orang tua yang ku sayangi, aku sendiri, di antara kerasnya pukulan duka dan pilu, di dalam kelanjutan takdirmu yang sangat rahasia”
Suara itu berpadu dengan tangisnya yang belum juga berhenti, setelah kecelakaan yang menyebabkan kedua orang tuanya berpulang, Nisa merasa kesedihan begitu menusuk cerita hidupnya, mengikis habis deru pasir hingga tepian.
Kini pantai itu telah menjadi saksi perjalanan hidup gadis malang tak berdosa yang kehilangan segalanya, nyawa yang teramat berharga, hilang begitu saja. Begitu besar penyesalan yang ada dalam gadis kecil ini, namun dia bukan siapa-siapa, hanya gadis kecil dengan cerita pilu ditemani sapaan pantai. Pantai di mana ia bisa menuangkan sejuta cerita dan emosi. Pantai di mana ia tidak merasa kesepian ditemani nyiur sang alam, hingga tiba saatnya, pantai menjadi akhir ceritanya yang begitu mendalam, hingga mengubah opera Tuhan yang telah ditetapkan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kinang Kilaras

Purnama Dilangit Jayakarta

Bersyukur Atau Tidak Sama Sekali